Monday, February 27, 2012

Ya?

Gue sadar 1000% gue tidak boleh egois. Gue pernah merasakan apa yang dia rasakan--mungkin--kalau ternyata memang itu alasanya.

Semua mahluk hidup selalu memasuki fase-fase baru yang berbeda. Menapakan kakinya pada sebuah undakan tangga yang baru. Semakin tinggi semakin keatas. Menuju pada tahapan yang lebih baik meninggalkan yang diperbaiki, dibelakang sana.

Gue tidak bisa menyalahi siapapun. Dan gue memang tidak menyalahi siapapun, begitu juga takdir. Bagaimana bisa menyalahi satu kodrat ekosistem yang memang telah ditakdirkan untuk saling keterkaitan dan membentuk populasi dan habitatnya sendiri.
Semua manusia punya standart kualitas zona aman dan nyaman yang mereka ciptakan sendiri. Bukan aneh memandangnya, tetapi memang salah satu hak asasi manusia.

Bukan kali pertama hal seperti ini terjadi pada diri gue. Berkali-kali.
Gue seperti berada di sudut lampu merah. Di atas trotoar dua warna. Bergeming melihat lalu-lalang.
Bagi gue pemandangan ini tidak asing. Ingat pada Garis-garis? Well, garis-garis itu kembali bergelombang.

Pada kenyataanya yang memang pahit, gue harus bisa mengakui dan menerima bahwa semua orang bisa berubah. Menerima dengan lapang dada memang bukan berarti jalan keluar yang paling tepat. Bahkan tidak juga mudah. Tapi gue yakin suatu saat jalan keluar yang tepat itu akan datang. Dan gue tinggal menunggunya. Meyakinkan diri sendiri bahwa sebuah kesabaran tidak akan berujung pada kekecewaan.

Saturday, February 25, 2012

Miris.
Dimana satu perubahan datang tanpa pengharapan.
Dimana senja tidak lagi berwarna jingga.
Dimana balerina kehilangan sepatu baletnya.
Dimana sebuah titik, tidak lagi memiliki ujung.

Hidup itu bergulir. Waktu tidak dapat dihentikan.
Meskipun kau menolak, tetap saja tidak akan berubah.
Ketika kau mencoba untuk mencegah, bisa jadi tidak akan sempat. Bahkan sebelum kau berfikiran untuk mencegah, hal itu akan menjauh darimu terlebih dahulu, mencuri start tanpa kau sadari.

Memori itu akan tetap ada, walau bisa sirna.
Memori itu akan tetap ada, apabila kau menginginkannya untuk tetap ada.
Memori itu sama seperti bekas luka.
Sekali terjatuh dan meskipun sudah dijahit, tidak akan pernah benar-benar hilang.

Thursday, February 23, 2012

Garis-Garis

Gue rasa, Tuhan menciptakan suatu takdir itu dengan alasan yang sangat kuat. Tuhan memberikan belah bagian hidup kita tanpa sedikitpun hal yang bisa dikoreksi. Sempurna.
Begitu tepat Tuhan menciptakan garis hidup seorang manusia. Saling singgung menyinggung dengan garis anak Adam lainnya, tanpa ada satupun yang terlewatkan. Garis hidup yang terkadang naik lalu turun. Garis hidup yang bergelombang yang suatu saat akan kembali lurus.

Garis-garis itupun tidak sendiri. Kemanapun garis itu melintang, mereka selalu ditemani bermacam-macam peristiwa dan dibimbing oleh beribu tutor bertopeng, bahkan terkadang tutor itu sampai tak bernyawa. Tutor itu mati. Tapi Tuhan tidak begitu saja melepas garis-garis itu sendirian. Tuhan pasti menurunkan kaki-tangan nya yang lain yang akan menuntun garis itu menuju pada cahaya putih dimana garis-garis itu tidak perlu lelah lagi berjalan. Dimana garis-garis itu akan berakhir bahagia.

Monday, February 20, 2012

Problematika abad 20

Blackberry Messanger.
Satu fasilitas baru yang super helping people berkomunikasi di era mode masa kini.
Kerjaan, tugas, informasi semua dikerjakan dengan baik atas nama dunia maya.
Anehnya. Lambat laun, gue mulai bosan. Dunia maya memang gue akui membawa banyak sisi positif. Tapi sisi negatifnya juga tidak sedikit.


Dunia maya membentuk pribadi seseorang.
Dunia maya merubah pribadi seseorang.
Dengan chatting apapun bisa dicapai. Minta tolong ini itu ke pembantu contohnya, gak perlu repot-repot napakin kaki. 


Nyatain cinta, modus-modus lewat bbm ayuk aja.
Sok jagoan di twitter bacot sana sini semakin menginfeksi abg labil.
Yang akhirnya menimbulkan perkara baru;
Cowok tidak lagi banyak yang Gentle. Semua aktivitas dilakukan lewat chatting.
Bahkan yang bikin otak gue mulai kebalik keheranan adalah, jaman sekarang, ada aja orang yang jadian tapi belum pernah bertemu sebelumnya dan hanya berkomunikasi melalui-apalagi kalo bukan;
bbm.
Strike.


Awalnya gue menikmati jalanya perkembangan teknologi di dunia, tapi lama kelamaan, gue ngerasa kurang memiliki momen-momen indah yang seharusnya dilakukan secara langsung. Bukan hanya chatting atau twitter.
Alesan gue ya klasik; bosen, man. Cuma itu.
Sekarang orang normal dan autis tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Karena sekarang, seorang normal bisa mirip bahkan persis seorang autis. 


Pemandangan yang cukup bikin mau nonjok adalah dimana lo sedang asik hangout bareng temen2 lo dan yang lo liat dalam jarak waktu luang beberapa menit mereka semua menggenggam benda kecil-yang tapi pengaruhnya lebih dari besar- bernamakan; blackberry.
Semua sibuk mencet-mencet keypad, mandangin layar ponsel atau ngescroll trackball sekedar buka-buka recent updates. 
Haruskah dilakukan itu? Harus banget kah ngecekin recent updates setiap menit? Seperti gak ada hal yang lebih berharga aja.


Gue akuin ngecekin recent updates memang sebenernya seru apalagi ngebantu banget kalo lagi nervous. tapi kondisi yang lagi gue singgung kali ini bukan hanya perkara hangout ke sekadar mall atau cafe. Gimana kalo berlibur ke puncak? Anyer? Atau bali? Atau tempat-tempat yang jarang dikunjungi, yang seharusnya kita bisa nikmatin alam dan udara segar di bandingkan ngecekin recent updates setiap menit.


Kadang gue mengharapkan segala hidup gue masih polos, naif, dan sederhana seperti apa yang ada di buku ataupun film. Mereka bertindak direct, bukan cuma lewat chatting atau smsan. 


Well, hal yang tadinya ingin gue bahas sebenarnya tidak sampai ke tahap barusan.
Tapi apa daya kebetulan lidah tidak bertulang, otak tidak berujung dan jari-jari gue belum kesemutan. Selama kondisi gue masih normal dan sehat, selama itu juga gue akan tetap menulis.
Beberapa yang gue sampaikan diatas hanya sekelumit dari pengalaman-pengalaman semata pribadi gue. 
Intinya.
Gue jenuh dengan aktivitas dunia maya. Mau menjauhkanya pun, gue rasa sulit. Tuntutan keadaan. Gue ga mau gambling juga.


Kalo mau ngomong sama gue ya temuin gue langsung, datengin gue. Jangan cuman bisa omong dan hilang diujung lidah.
Karena sejujurnya, gue mengharapkan tindakan lebih dr sekedar kata.

Sunday, February 19, 2012

Ternyata tidak semua hal sama seperti apa yang gue pikirkan. Selama ini gue belajar dari seseorang untuk sebisa mungkin mengurangi kata-kata kasar. Akhirnya gue membentuk prinsip bahwa walaupun gue bisa kasar dalam suatu waktu, gue mencoba untuk tidak akan pernah melontarkan kata-kata yang menurut gue menyakitkan pada orang-orang terdekat gue, pada orang yang gue sayang.
Ironisnya, saat ini malah gue yang sakit setelah kalimat pendek itu terlontar. Dan ironisnya lagi, kalimat pendek itu terlontar dari orang yang sangat gue jaga dalam berbicara didepannya untuk sebisa mungkin gak nyakitin. Mungkin gue bisa aja bales kalo gue mau, tapi prinsip gue memenangkan satu poin diatas emosi gue. 
Menunjukan bahwa jika hanya dengan menggunakan sebilah kata belati, hati gue tidak mempan untuk ditusuk. Thanks.

Saturday, February 18, 2012

Tentang Hujan di bawah Hujan

Pemandangan itu muncul tadi sore, ketika gue berdiri tegak dengan atribut lengkap berbalut putih abu-abu dan sepatu hitam bertali yang rapi.

Gerimis dan Hujan itu romantis, juga misterius.
Kali pertama gue melihat pemandangan paling elok yang pernah bola mata gue pandang. Daun oranye serta biji-biji kecil jatuh dari pohon. Terbang mengikuti arah angin. Rasanya seperti memiliki musim gugur. Suasananya sejuk, perlahan menjadi dingin, bahkan sangat dingin.

Dalam keadaan sikap sempurna saat itu, gue yakin seribu persen otak dan badan gue agak nggak singkron. Mungkin ditambah efek capek dan pusing ketika itu, suara abang danton paskibra terdengar begitu samar di telinga gue. Diiringi suara rintik hujan yang mengetuk topi berlogo garuda berlambang nama lembaga dimana gue menuntut ilmu. Ketukan itu perlahan memberat. Membentuk butiran dengan radius yang lebih lebar dari sebelumnya.

Gue, yang saat itu berdiri pada ujung sebelah kanan barisan merasa beruntung. Karena pada saat itu mata gue merasa menjadi mata yang bisa menguasai seluruh detail gedung sekolah dengan event gerimis romantisnya, lengkap dengan hembusan angin yang membawa serpihan daun coklat. Disana. Di sudut lapangan.
Saat itu juga pemandangan yang tadi gue lihat dengan sekejap-sebelum akhirnya harus berbalik mengikuti perintah danton-melintaskan sebongkah argumentasi yang rancu. Yang walaupun memiliki bukti namun masih belum pasti.

Gerimis itu romantis. Buktinya, kebanyakan film menganut prinsip memeluk atau mencium pasangan dalam film tersebut dibawah butir-butir air dibandingan dengan terik matahari yang menyengat demi mendapatkan sensasi drama yang besar yang akhirnya menyentuh serta meluluhkan hati penonton dalam sebuah film.
Teori tersebut yang akhirnya menginfeksi pribadi-pribadi perempuan yang prinsipnya mudah goyah yaitu terlibat dalam kisah romantis ironis yang begitu klasik. Mengubah mindset setiap para wanita bahwa memiliki momen yang berhubungan dengan cinta dibawah naungan hujan, akan sangat indah dan berkesan.

Sepuluh detik bergeming ternyata tidak cukup bagi gue. Argumen itu gue teruskan sambil membagi fokus antar perintahbaris berbaris yang ditembakkan danton.

Gerimis itu misterius. Buktinya, kebanyakan lagu bertemakan sedih sering menyangkutpautkan hujan dan gerimis. Memberi mindset tambahan bahwa ternyata gerimis dan hujan bukan hanya background sempurna untuk momen bahagia. Melainkan secara tidak langsung dikatakan sangat bertolak belakang dari mindset pertama bahwa, gerimis itu sendu. Gerimis itu Elegi. Tidak sedikit orang yang memilih menangis dan mencari air untuk menipu mata yang melihat agar dapat menutupinya rapat-rapat. Menutupi bertubi isak perih tangis mereka.

Ratusan bahkan mungkin ribuan rahasia yang tidak dapat terungkap itu tertuang dalam titihan airmata yang akhirnya terjatuh dalam hujan dan bersatu padu dengan butiran airmata lainnya. Rahasia yang terpendam yang entah mengalir bersama ritme hujan itu sendiri. Menghilangkan jejak sertas bekas luapan emosi bagi para pemiliknya. Menghapus resah. Menimbulkan sejuta tanya.

Ketika langit tidak lagi berwarna padam, yang lama kelamaan makin meredam.
Ketika ketukan pada mulut topi gue semakin keras dan punggung tegak gue mulai merunduk.
Ketika permukaan lapangan-dengan waktu yang sebentar saja-mulai digenangi oleh air dan perintah berlari untuk meneduh itu dijatuhkan.
Ketika itu juga lamunan bongkahan argumentasi gue tertutup.

Meninggalkan torehan kata yang ingin gue wujudkan dalam sedikit paragraf ini.
"Sering kali, hening memang lebih mampu mengungkapkan banyak hal daripada ribuan kata. Dan sering kali pula mata lebih mampu menyampaikan apa yang hati inigin bicara, lebih daripada bibir sanggup mengatakanya.
Namun, maaf juga bukanlah satu tindakan yang bisa dilakukan tiba-tiba. Ada pengertian panjang sebelumnya. Ada pemahaman. Dan ada keikhlasan."